WASHINGTON, NusantaraOfficial.com – Presiden Amerika Serikat Donald Trump membuka peluang untuk mengakhiri rangkaian aksi saling balas tarif dengan Tiongkok.
Ia menyampaikan kekhawatiran bahwa tingginya beban tarif justru bisa menghambat minat beli masyarakat Amerika terhadap produk impor, termasuk dari China.
Pernyataan ini muncul setelah pemerintahan Trump sebelumnya memberlakukan tarif sebesar 245% terhadap berbagai produk asal China sebagai bagian dari eskalasi perang dagang yang kian memanas sejak awal 2025.
Kekhawatiran Trump atas Efek Tarif Ekstrem
Berbicara kepada wartawan di Gedung Putih, Trump menyampaikan bahwa tarif tinggi bisa menciptakan tekanan balik ke perekonomian domestik AS.
“Saya mungkin tidak ingin menaikkannya lebih tinggi atau bahkan tidak ingin naik ke tingkat itu. Saya mungkin ingin menurunkannya karena Anda tahu bahwa Anda ingin orang membeli dan, pada titik tertentu, orang tidak akan membeli,” ujar Trump pada Kamis (17/4/2025) waktu setempat.
Pernyataan ini menunjukkan sinyal perubahan strategi dalam kebijakan dagang pemerintahannya, di mana sebelumnya Trump dikenal sebagai pendukung proteksionisme agresif guna melindungi industri dalam negeri.
Baca Juga: Xi Jinping Desak CEO Global Lindungi Rantai Pasokan Dunia
Reaksi Tiongkok dan Syarat Negosiasi
Sementara itu, pemerintah Tiongkok tetap tegas dalam menyikapi tekanan tarif dari Amerika Serikat. Melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri Lin Jian, Beijing menyampaikan bahwa mereka tidak akan mundur dalam menghadapi kebijakan yang dianggap tidak adil.
“Mengenai bagaimana angka 245% itu muncul, sebaiknya ditanyakan pada pihak AS. Tidak ada pemenang dalam perang tarif atau perang dagang,” ujar Lin Jian dalam konferensi pers di Beijing, Rabu (16/4/2025).
Beijing juga menyerukan agar Washington kembali ke meja perundingan dengan syarat dialog berlangsung atas dasar kesetaraan, saling menghormati, dan prinsip saling menguntungkan.
Baca Juga: Trump Ingin Jadi Sahabat Rusia-China, Cegah Aliansi Kuat
Dinamika Eskalasi Perang Tarif
Perang dagang antara dua negara ekonomi terbesar dunia ini sudah berlangsung sejak Trump kembali menjabat sebagai presiden pada Januari 2025.
Saat itu, ia memulai kebijakan tarif sebesar 20% terhadap China, yang kemudian terus meningkat menjadi 34%, 50%, hingga puncaknya 245% setelah berbagai tindakan balasan dari pihak Beijing.
China tak tinggal diam. Tindakan balasan dimulai dengan penerapan tarif serupa sebesar 34%, lalu meningkat menjadi 84%, dan kemudian 125% terhadap barang-barang asal Amerika Serikat.
Berbeda dari negara-negara lain yang memilih jalur negosiasi, China justru memilih sikap konfrontatif dengan merespons setiap tarif Trump secara langsung.
Baca Juga: China, Korsel, dan Taiwan Bereaksi Keras atas Tarif Baru AS
Penundaan Tarif Global, China Tetap Jadi Target Utama
Pada awal April, Trump memutuskan untuk menunda pengenaan tarif baru terhadap puluhan negara selama 90 hari guna membuka ruang dialog dan negosiasi. Namun kebijakan itu tidak berlaku untuk China, yang tetap menjadi sasaran utama strategi tarif pemerintahan Trump.
Meskipun Trump menyampaikan bahwa China telah menjalin komunikasi, para analis menilai pembicaraan tingkat tinggi antara kedua negara sejauh ini tidak menunjukkan hasil signifikan. Diskusi berjalan secara informal dan belum menghasilkan kesepakatan konkret.
Ketegangan Meningkat, Pasar Global Waspada
Ketegangan tarif yang berlangsung terus-menerus menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku pasar global. Lonjakan tarif dinilai bisa berdampak pada harga produk, rantai pasok global, serta menekan daya beli masyarakat di kedua negara.
Baca Juga: Ekonomi RI Kuartal I-2025
Sejumlah pengamat memperkirakan bahwa jika kebijakan saling balas tarif ini tidak segera mereda, pertumbuhan ekonomi global bisa kembali tertekan di tengah ancaman ketidakpastian makro yang masih berlangsung.
Namun, dengan pernyataan terbaru dari Trump yang mulai mempertimbangkan untuk menurunkan tarif sebagai bagian dari strategi menjaga daya beli rakyatnya, pasar kini menantikan apakah ini benar-benar menjadi titik balik dari perang tarif terpanjang yang melibatkan dua negara raksasa ekonomi dunia.
Ikuti media sosial kami untuk update terbaru